The Lost Geration

Written on 4:10 AM by Andy Yoes Nugroho


---------------------------------------
Poster Concep & Design
Andy Yoes Nugroho
Illustrasi Teguh Anka
Size 65 x 45 cm
Published by INFID
---------------------------------------

Menyikapi Sidang CGI ke-12
Nusa Dua Bali, 21-22 Januari 2002

Rejim telah berganti dari Soeharto ke Habibie kemudian ke Gus Dur dan saat ini kepada Megawati namun perekonomian Indonesia tetap tidak beranjak dari pemulihan. Krisis moneter dan ekonomi 1997 telah menyebabkan utang Indonesia semakin memberatkan. Utang luar negeri berjumlah 742 triliun rupiah dan utang domestik sebanyak 659 triliun rupiah. Total berjumlah 1.401 triliun rupiah (US$ 150 miliar). Jadi kondisi saat ini jauh lebih buruk daripada saat kita masuk ke rejim Orde Baru. Kalau dulu istilahnya ‘luka parah’ maka sekarang menjadi ‘berdarah-darah’. Politik utang yang diterapkan rejim Orde Baru ternyata telah menyandera kita kedalam sebuah perangkap yang sulit untuk keluar dengan selamat. Pertemuan CGI ke-11 di Jakarta tahun lalu dengan topik pengentasan kemiskinan malah membuat semakin banyak orang miskin yang terpinggirkan. Akankah pertemuan CGI ke-12 di Bali pada tanggal 21-22 Januar1 2003 dengan topik “equality, sustainability and poverty reduction” sebagai harapan? Jawabannya tentu saja TIDAK. Pemerintah Indonesia telah menyusun proposal utang baru dalam sidang tersebut padahal komitmen utang tahun lalu masih banyak yang belum terealisasi. Tambahan utang baru tersebut tentu saja akan semakin memberatkan anak cucu kita untuk membayarnya.

Utang Indonesia:
Sudahkah berpihak kepada rakyat kecil?

Mengapa kita harus peduli masalah utang Indonesia?
US$150 milyar (±Rp1.401 trilyun), jumlah yang sangat fantastis untuk utang yang menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh rakyat Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 100% GDP Indonesia. Beban utang Indonesia memang semakin memburuk semenjak krisis ekonomi 1997. Restrukturisasi sector keuangan (rekapitalisasi, jaminan keuangan dan bantuan dana cair) yang dimandatkan oleh LoI IMF semakin memperburuk situasi. Hingga Desember 2001, utang domestik Indonesia mencapai Rp653 trilyun. Masalah utang Indonesia sudah sangat serius dan di luar batas kewajaran. Disadari atau tidak, tiap penduduk Indonesia harus menanggung utang sebesar ±Rp10 juta, walaupun mereka tidak pernah menikmati utang tersebut.

Berpihak kepada siapa kebijakan utang Indonesia?
Kebijakan utang Indonesia tidak selalu berpihak kepada rakyat kecil. Para pengambil keputusan dan birokrasi yang mulai kecanduan utang mengajukan permintaan acak terhadap proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan social yang tidak berkelanjutan. Telah lama diketahui publik bahwa sebagian dari utang tersebut mengendap dalam rekening dan proyek-proyek yang berbau korupsi. Diperkirakan sebesar 30% utang luar negeri Indonesia dikorupsi oleh pejabat orde baru, dengan sepengetahuan lembaga internasional pemberi utang. Yang lebih buruk lagi, rakyat Indonesia harus menanggung utang-utang swasta, milik konglomerat, yang dialihkan ke dalam utang pemerintah Indonesia melalui program rekapitalisasi bank (BLBI). Hal tersebut hanya salah satu dari resep Letter of Intent IMF yang salah kaprah, yang bukannya memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, tetapi semakin memperburuk keadaan Indonesia.


Siapa pemberi utang luar negeri Indonesia?
Utang luar negeri Indonesia dibedakan atas utang dari CGI (dulu IGGI) dan non-CGI. Utang CGI yang berasal dari donor multilateral seperti dari Bank Dunia, Asian Development Bank, IMF, and UNDP. Utang CGI yang berasal dari donor bilateral seperti dari Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, Kanada dan Italia (negara-negara G-7). Utang diluar CGI bisa berupa utang bilateral, multilateral, fasilitas kredit ekspor, leasing, komersial, dll. Kesepakatan dan pencairan utang luar negeri selama ini dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan publik. Kesepakatan dan mekanisme utang luar negeri harusnya diatur dengan tegas dan jelas dalam undang-undang. Rakyat seharusnya tidak dibebani oleh kewajiban untuk membayar utang yang tidak mereka rasakan manfaatnya akibat utang tersebut dikorupsi (odious debt) oleh pejabat negara.

Dari mana utang dalam negeri Indonesia?
Sebelum krisis 1997, Indonesia tidak mempunyai utang dalam negeri. Pada November 1997, di bawah kebijakan IMF, Pemerintah Indonesia terpaksa harus bersedia untuk menanggung biaya rekapitalisasi 16 bank swasta yang ditutup atas perintah IMF. Pemerintah Indonesia harus menanggung program penjaminan uang nasabah sebesar Rp. 218,316 trilyun, dan obligasi untuk rekapitalisasi bank sebesar Rp. 434,564 tirlyun. Hal ini semakin menjerumuskan Indonesia semakin terjerat dengan utang yang sedemikian bertumpuk.

Penggunaan utang Indonesia
Utang luar negeri Indonesia digunakan untuk: menutup defisit APBN (gali lubang tutup lubang, karena utang yang dipakai untuk menutup defisit APBN ini digunakan untuk membayar bunga utang Indonesia), investasi infrastruktur jasa publik. Sedangkan utang dalam negeri (surat hutang) digunakan untuk: program penjaminan —— BLBI, rekapitalisasi perbankan, pembiayaan kredit program (surat utang kepada BI).

Apa dampak krisis utang?
Beban utang yang sedemikan besar tentunya akan berpengaruh pada porsi pembiayaan pembangunan dalam APBN. Hal ini berarti:
1. berkurangnya anggaran/APBN menyebabkan minimnya dana pemulihan ekonomi;
2. pemotongan subsidi BMM dan sembako menyebabkan harga bahan bakar, makanan dan transportasi dan barang
hasil industri (pakaian) akan naik;
3. pencabutan subsidi pupuk akan memberatkan para petani
4. layanan kesehatan dan pendidikan akan menurun drastic, sekitar 40%, biaya kesehatan dan pendidikan yang
ditanggung keluarga Indonesia, terutama kaum miskin dan petani akan makin tinggi;
5. beban pajak akan bertambah naik karena krisis utang maupun karena otonomi daerah yang salah kaprah;
6. 2-3 juta anak Indonesia akan menjadi generasi yang hilang (the lost generation), kurang pangan, kurang
pendidikan dan kurang sehat (Data UNICEF 1999)
7. Indonesia akan terjerat oleh persyaratan dari negara/lembaga kreditor seperti diterapkannya pasar bebas,
keharusan untuk menggunakan teknologi/barang-barang dari negara kreditor, PHK besar-besaran, dll;
8. dampak lainnya adalah eksploitasi sumber daya alam (hutan, laut, tambang dan lainnya) akan meningkat drastic
untuk membiayai APBN

Apakah Indonesia bisa keluar dari jerat utang yang sudah sedemikian melilitnya?
Ada beberapa jalan yang bisa dilakukan untuk bisa keluar dari lilitan utang. jalan untuk menyelesaikan utang luar adalah sebagai berikut:

Pertama, membayar utang, ini tentunya akan sulit dilakukan karena jumlah utang luar negeri Indonesia sudah sedemikian besarnya;

Kedua, scenario HIPC (Highly Indebted Poor Country), negara yang masuk kategori HIPC adalah negara yang miskin dan akan mendapat perlakuan yang istimewa dari para kreditornya. Indonesia sendiri menurut Global Development Finance 2002 terbitan Bank Dunia sudah termasuk ke dalam SILIC (severely indebted and low income countries) bersama-sama dengan Afghanistan, Nigeria, dan Ethiopia. Indonesia masuk ke dalam golongan SILIC karena GDP-nya berada di bawah US$650. Melalui scenario HIPC, seharusnya Indonesia bisa meminta kredit dengan bunga rendah dan penghapusan utang pokok, tetapi pemerintah Indonesia tidak mau mengajukan scenario ini karena tidak mau dianggap sebagai negara yang miskin;

Ketiga, Paris Club, yang merupakan pertemuan antara negara-negara kreditor untuk membicarakan kemungkinan penjadwalan ulang pembayaran utang-utang negara-negara debitor yang telah jatuh tempo. Penjadwalan ulang utang di luar scenario Paris Club juga bisa dilakukan secara bilateral. Tetapi penjadwalan utang tidak bisa melepaskan Indonesia dari jerat utang, karena utang Indonesia tetap bertambah, yang berubah hanyalah jangka waktu pembayarannya, mengalihkan pembayaran utang sekarang ke masa yang akan datang;

Keempat, debt swap atau pengalihan utang, maksudnya adalah mengalihkan beban utang dengan janji akan melakukan hal yang telah disepakati sebagai gantinya, bukan dengan membayar cicilan utang dengan uang segar (cash). Contohnya adalah debt for nature swap, yaitu mengalihkan pembayaran utang untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Indonesia sudah mencoba scenario ini dan secara khusus menawarkan untuk menutup sejumlah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang bermasalah dan diduga keras telah merusak hutan.;

Kelima, odious debt atau ‘utang najis’, adalah suatu doktrin internasional yang menyatakan bahwa utang yang dibuat oleh suatu rezim pemerintahan yang tidak dipilih oleh rakyatnya dan jika utang tersebut digunakan untuk menekan rakyatnya bukan untuk kepentingan negara, maka utang tersebut bukanlah menjadi beban dari negara dan rakyatnya tapi merupakan utang rezim tersebut. Doktrin tersebut bisa diterpakan di Indonesia, karena selama masa orde baru, utang luar negeri Indonesia tidak pernah meminta pendapat rakyat. Sudah diketahui secara umum bahwa uang itu bocor, dikorupsi dan jarang sampai kepada tujuan yang sudah dirancang sebelumnya.

Keenam, ngemplang atau tidak mau membayar utang, hal ini yang paling mudah dilakukan, dengan alasan krisis moneter yang berkepanjangan. Pilihan ini tentu saja yang paling tidak disetujui oleh negara-negara kreditor, karena kreditor mana yang mau kehilangan uangnya?
Jalan untuk menyelesaikan utang dalam negeri adalah menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas kebijakannya pada LoI yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menyehatkan perbankan dengan mengeluarkan obligasi yang nyata-nyata menambah beban utang Indonesia.

Apa yang bisa kita lakukan terhadap masalah utang Indonesia?
Kita sebagai rakyat Indonesia, yang harus menanggung beban utang, tidak bisa tinggal diam dalam menyikapi masalah utang Indonesia. Kita menuntut agar:
1. Melakukan reformasi kelembagaan CGI beser­ta mekanisme pengambilan kepu­tusan­nya melalui pembentukan
panel independen yang keanggotaannya multi­stakeholder.
2. Membentuk komite untuk pemulihan pereko­nomian Indonesia dan pengen­tasan kemiskinan yang mampu mem­
berikan alternatif kebijakan mengenai persoalan kemiskinan dan pemulihan ekonomi.
3. Membentuk tim penilaian independen atas dampak sosial, lingkungan, dan eko­nomi atas utang dan bantuan CGI
untuk menen­tukan efektifitas utang dan bantuan tersebut.
4. Mengumumkan kepada publik bahwa utang dan bantuan yang diberikan dalam Sidang CGI ke-12 tidak bersifat
mengikat, yang hanya menguntungkan pihak kreditor.
5. Membentuk arbitase utang untuk menilai keberlanjutan utang Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang CGI

Bagaimana proses lahirnya Inter Governmental Groups on Indonesia (IGGI), sebelum berubah nama menjadi Consultative Groups on Indonesia (CGI) ?

Bulan Februari 1967 diadakan sebuah pertemuan di Den Haag negeri Belanda yang diprakarsai oleh Mr.B.J. Udink untuk mem­bicarakan utang baru yang diperlukan Indonesia. Kriteria pokok yang ditentukan Indonesia adalah:

1. utang luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik;
2. syarat pembayaran harus dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali;
3. penggunaan utang luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan bermanfaat.

Pertemuan di Den Haag ini kemudian dikenal sebagai Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Pertemuan pertama IGGI dihadiri oleh 7 negara anggota yaitu Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, Italia, Jerman Barat, Jepang, dan Inggris. Sebagai peninjau yakni: Austria, Kanada, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss. Lembaga-lembaga internasional yang hadir dan kemudian besar sekali peranannya dalam pelaksanaan bantuan ke Indonesia adalah IMF, WB, ADB, dan UNDP. Utang yang dikucurkan sebesar US$ 200 juta.

Mengapa IGGI harus berganti nama menjadi CGI ?

Pemerintah Belanda selaku ketua IGGI dan beberapa negara donor anggota IGGI berpendapat bahwa program Keluarga Berencana di Indonesia dilaksanakan dengan paksaan. J.P Pronk selaku Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda me­rupakan salah satu tokoh yang me­nyuarakan hal tersebut. Tudingan tersebut segera dijawab oleh Pemerintahan Soeharto dengan membubarkan forum IGGI pada tanggal 22 Maret 1992, dan menolak segala bentuk utang dari Pemerintah Belanda. Selanjutnya Pe­merintah Indonesia meminta Bank Dunia untuk membentuk badan lain sebagai gantinya. Bentuk tersebut kemudian dikenal dengan nama Consultative Group on Indonesia (CGI) dengan Bank Dunia selaku ketua. Sidang pertama CGI ke-1 dilakukan pada tanggal 16-17 Juli 1992 di Paris. Komitmen utang yang diberikan sebesar US$ 4,95 miliar. Dalam sidang CGI ke-12 yang akan digelar pada tgl 21-22 Januari 2003 di Bali sekitar Rp 29,1 triliun.


Anggota CGI

Donatur Bilateral
1. Australia
2. Austria
3. Belgium
4. Canada
5. Denmark
6. Finland
7. France
8. Germany
9. Italy
10. Japan
11. South Korea
12. Kuwait
13. The Netherlands
14. New Zealand
15. Norway
16. Portugal
17. Spain
18. Sweden
19. Switzerland
20. United Kingdom
21. United States of America

Donatur Multilateral
1. Asian Development Bank (ADB)
2. European Commission
3. International Finance Corporation (IFC)
4. International Monetary Fund (IMF)
5. Islamic Develop ment Bank
6. Nordic Development Bank
7. United Nations Development Programme (UNDP)
8. United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF)
9. The World Bank

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment