Anti RUU Pornografi

Written on 1:02 AM by Andy Yoes Nugroho



Tolak PORNOGRAFI !
Tolak Juga RUU PORNO!

Pornografi yang merupakan sebuah bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas – melalui majalah, buku, film dan sebagainya – tentu saja harus kita tolak dengan tegas. Tapi, sangatlah keliru bila ada yang berpikir bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi, kita dapat melakukannya lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi atau “RUU PORNO”.


Kalau mau hentikan pornografi, maka seharusnya Negara mengatur “penyebaran” barang-barang pornografi – dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia. Bukankah soal pengaturan moral dan etika itu lebih merupakan wewenang lembaga agama dan budaya?

Mengapa Menolak RUU PORNO?

RUU PORNO harus kita tolak karena...

Pertama, RUU PORNO tak mengakui “kebhinekaan” masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama.

RUU PORNO dibuat berdasarkan asumsi bahwa Negara, melalui undang-undang, dapat mengatur etika dan moralitas masyarakat, terutama lewat cara berpakaian. Padahal, sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara beragam yang dikenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang juga punya pandangan beragam tentang nilai-nilai moral. Bukanlah Negara, tetapi lembaga agama dan adat yang harus diberi kesempatan mengatur nilai-nilai moral serta tatasusila di negeri ini. Negara justru harus melindungi perbedaan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakatnya. Negara hanya bisa turut campur, lewat hukum dan penegakan hukum, bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dasar (hak-hak asasi manusia) setiap warga negaranya – termasuk bila ada yang hendak “memaksakan” nilai-nilai moralnya kepada masyarakat dari agama atau adat-istiadat yang berbeda.

Kedua, RUU PORNO mengatur moral dan etika umum berdasarkan satu pandangan agama atau budaya tertentu.

Dengan mencoba mengatur moral dan etika umum, disadari atau tidak, Negara telah “terjebak” mengadopsi nilai-nilai partikular dari agama atau budaya tertentu untuk diberlakukan secara menyeluruh dan tanpa pandang bulu. Hal ini berarti bahwa Negara kembali tidak menempatkan diri sebagai pelindung “kebhinekaan” masyarakat Indonesia. Lebih buruk dari itu, Negara telah mengkhianati amanat universal dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara '45 yang menjadi dasar pijakan bagi demokrasi kita – yang jelas berbeda dari teokrasi, yang berdasarkan pada satu agama dan budaya tertentu saja. Sehingga, berpotensi menciptakan perpecahan atau disintegrasi bangsa.

Ketiga, RUU PORNO menyudutkan perempuan dengan menempatkannya sebagai penyebab utama maraknya pornografi dan kebejatan moral.

RUU PORNO dibuat berdasarkan asumsi bahwa kalau tidak ingin terjadi kebejatan moral dan maraknya pornografi, maka kaum perempuan harus menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Jelas bahwa RUU PORNO ini tidak mau mengakui kenyataan bahwa nafsu tak terkendali dari orang yang memandang – baik laki-laki maupun perempuan – adalah salah satu faktor dominan terjadinya kebejatan moral atau maraknya distribusi pornografi. Pada saat yang sama, RUU PORNO pun melecehkan kaum laki-laki di Indonesia secara umum, karena menganggap bahwa mereka tak mampu mengkontrol nafsu birahinya – sebagaimana kaum laki-laki pada jaman jahiliyah di Timur Tengah.

Keempat, RUU PORNO mengatur privasi atau wilayah privat dari anggota masyarakat dan bukannya melindunginya.

Dengan mengatur moral dan etika umum, maka RUU PORNO telah pula mengatur hak-hak yang sangat pribadi anggota masyarakat terhadap tubuhnya – termasuk dalam hal melakukan masturbasi atau onani – dan terhadap pakaian yang hendak dikenakannya. Bukanlah urusan Negara untuk mengatur masturbasi, onani maupun kepantasan dalam berpakaian. Sekali lagi, Negara semestinya melindungi wilayah privat anggota masyarakatnya dan bukannya melakukan pengaturan secara berlebihan. Kalau tindakan perorangan ini menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, maka hal itu seharusnya diatur melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan bukannya melalui RUU PORNO.

Kelima, RUU PORNO melakukan pengaturan moral atau etika umum berdasarkan dugaan yang pembuktiannya sangatlah bergantung pada “penafsiran yang subyektif.”

Dalam melakukan pengaturan moral dan etika umum, RUU PORNO telah terlalu jauh menafsirkan bahwa gambar-gambar maupun gerakan-gerakan serta desahan-desahan tertentu adalah bukti yang dengan sendirinya telah menunjukkan terjadinya tindakan yang mengarah pada “pornoaksi” dan pornografi. Padahal, sangat mungkin, misalnya, bahwa gambar-gambar tersebut adalah karya seni, dan gerakan-gerakan atau desahan-desahan yang terjadi adalah karena sedang melakukan “kegiatan olahraga” atau pun sedang “mengerang kesakitan”. RUU yang penuh penafsiran seperti ini tentu tak layak dijadikan Undang-Undang. ***

Atas nama akal sehat, demokrasi, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan Undang-Undang Dasar '45, mari kita sama-sama tolak RUU PORNO ini.

Kita Tolak Pornografi! Kita Tolak pula RUU PORNO ini!

Aliansi Bhinneka Tunggal Ika

----------------------------------------------
[1]Pornografi atau pornography, dalam bahasa Inggris, adalah 'kata benda' yang berarti majalah, buku film dan sebagainya yang dimaksudkan untuk menimbulkan kegairahan seksual dengan cara menampilkan gambar ketelanjangan ataupun kegiatan seksual (sumber: Chambers English Students' Dictionary)

If you enjoyed this post Subscribe to our feed

No Comment

Post a Comment